Mencari Sosok Pahlawan

Sedari kecil, kita sudah tahu kalau tanggal 10 November diperingati sebagai Hari Pahlawan. Mungkin dulu, kita hanya menganggap Hari Pahlawan sebagai hari dimana kita mengenang jasa-jasa pahlawan bangsa yang gugur dalam medan perang. That’s it. Sekarang? Apakah hanya itu? Mengingat pola pikir kita yang semakin luas dan kritis. Saya rasa jawabannya harus TIDAK.

Mundur sedikit, coba kita artikan dulu arti pahlawan. Secara sederhana, pahlawan diambil dari kata dasar pahala. Jadi bisa diartikan orang yang berpahala. Maksud berpahala di sini, karena dia melakukan hal-hal yang baik. Sedangkan kalau kita buka Kamus Besar Bahasa Indonesia (2001:812), yang disebut pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Beda lagi dengan apa yang dikatakan filsuf  zaman dulu. Mereka mengatakan bahwa pahlawan adalah seseorang yang mampu menggugah hati banyak orang…

Tanpa mengecilkan arti, saya akan mengabaikan arti pahlawan versi KBBI. Saya ingin membahas pandangan dari para filsuf. Seperti yang sudah ditulis, pahlawan versi filsuf itu adalah orang yang mampu menggugah hati banyak orang. Siapakah dia? Kita tak perlu bingung mencari sosok pahlawan versi filsuf. Sejauh mata memandang, mungkin kita bisa menangkap beberapa contoh nyatanya. Coba baca koran hari ini, atau nyalakan TV. Contoh yang lebih mudah, buka Twitter atau media online. Kita bisa temukan satu contoh sosok pahlawan: sukarelawan.

Bencana yang terjadi secara berurutan di beberapa bagian di Indonesia sontak membuat sebagian masyarakat di daerah itu lumpuh. Bencana di Wasior, Mentawai, Jogja tentunya menyentuh hati banyak orang. Namun hanya beberapa yang dengan sukarela dan ikhlas menyerahkan sebagian besar waktu dan tenaga untuk membantu. Mereka, sukarelawan. Perlu jiwa yang tangguh dan nyali yang besar untuk menjadi sukarelawan. Terkadang, penyakit dan maut juga ikut mengintai. Mereka — kalau kita kaitkan dengan kata-kata fisuf — juga bisa dikategorikan pahlawan.

Dulu, para bijak pernah berkata, “Tidak semua zaman melahirkan pahlawan.” Tapi tentu kita bisa bertransformasi, berevolusi — atau apalah namanya –menjadi pahlawan. Minimal untuk diri kita. Selfish? Tidak! Musuh utama kita adalah diri kita sendiri. Taklukan musuh dalam diri kita sendiri dengan semangat pahlawan yang juga dari diri kita. Lakukan yang terbaik untuk diri kita, sebelum sebarkan ke orang lain. Karena hal besar itu terjadi karena adanya hal kecil.

One response

Leave a comment